Revisi UU Hak Cipta: Bedakan Hiburan dan Komersial
(Oleh: Zulfikri Toguan) Revisi UU Hak Cipta perlu dilakukan agar kegiatan menyanyikan lagu di ruang publik dibedakan antara hiburan non-komersial dan penggunaan komersial. Kejelasan hukum ini menyeimbangkan hak pencipta dan kepentingan sosial masyarakat.
JAGOK.CO - PEKANBARU - Selasa, 19 Agustus 2025 – Ketua Sentra HKI Universitas Islam Riau menegaskan pentingnya revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebagai dasar hukum perlindungan karya intelektual di Indonesia. Undang-undang ini mencakup perlindungan berbagai karya kreatif, termasuk musik, lagu, dan pertunjukan seni, dengan memberikan hak eksklusif kepada pencipta, khususnya hak ekonomi yang mengatur penggunaan karya untuk tujuan komersial. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa batasan antara kegiatan komersial dan non-komersial masih kabur, terutama dalam konteks menyanyikan lagu di ruang publik, baik dalam acara komunitas, sekolah, tempat ibadah, maupun kegiatan sosial budaya.
Analisis Hukum dan Realitas Sosial
Secara normatif, Pasal 9 UU Hak Cipta mengatur hak ekonomi pencipta, termasuk hak pertunjukan, pengumuman, dan komunikasi karya kepada publik. Pasal 113 mengatur sanksi pidana bagi pelanggaran hak ekonomi tanpa izin. Sayangnya, undang-undang ini belum secara jelas membedakan antara penggunaan komersial dan non-komersial, sehingga masyarakat sering kali merasa terbebani dengan kewajiban izin dan pembayaran royalti, meski kegiatannya murni untuk hiburan, pendidikan, atau sosial budaya.
Fenomena ini menimbulkan persepsi bahwa hukum terlalu represif dan kurang berpihak pada kebutuhan sosial masyarakat, yang menjadikan musik dan lagu sebagai media hiburan, interaksi sosial, dan pelestarian budaya. Banyak warga, sekolah, komunitas, dan organisasi sosial menilai aturan saat ini cenderung mempersulit akses terhadap seni musik dan lagu lokal.
Pasal-Pasal yang Perlu Direvisi
Untuk mencapai keadilan hukum dan proporsionalitas perlindungan hak cipta, beberapa pasal penting perlu direvisi:
-
Pasal 9 ayat (2)
"Setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta."
Revisi yang diusulkan: Kewajiban izin hanya berlaku untuk penggunaan komersial. Untuk penggunaan non-komersial (keluarga, pendidikan, kegiatan sosial dan keagamaan), cukup penghormatan terhadap hak moral pencipta, tanpa kewajiban pembayaran royalti. -
Pasal 10 ayat (2)
"Lembaga Manajemen Kolektif wajib menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti..."
Revisi yang diusulkan: LMK hanya berwenang mengatur pertunjukan dan penggunaan komersial, sementara kegiatan sosial, pendidikan, dan komunitas non-profit dikecualikan dari pemungutan royalti. -
Pasal 113 ayat (2) dan (3)
Sanksi pidana bagi pelanggaran hak ekonomi.
Revisi yang diusulkan: Pengecualian atau penghapusan sanksi pidana untuk kegiatan non-komersial. Sanksi pidana hanya diterapkan bila terdapat bukti eksploitasi ekonomi atau keuntungan finansial dari karya cipta.
Dengan revisi ini, UU Hak Cipta akan memberikan kejelasan hukum, menciptakan keseimbangan antara perlindungan hak pencipta dan kebebasan masyarakat untuk mengakses hiburan musik secara wajar dan legal.
Suara Komposer dan Pandangan Masyarakat
Beberapa komposer menekankan pentingnya perlindungan hak cipta untuk menjaga profesionalisme dan keberlangsungan profesi musik. Namun, sebagian besar komposer dan praktisi musik setuju bahwa kegiatan non-komersial justru menjadi sarana promosi karya, meningkatkan eksposur, dan mendukung pengembangan budaya musik lokal.
Di sisi lain, masyarakat menilai kewajiban izin pada acara komunitas, sekolah, atau kegiatan kecil sebagai bentuk kriminalisasi hiburan yang menghambat akses budaya. Revisi yang tepat akan menjembatani kebutuhan ekonomi pencipta dengan hak masyarakat atas hiburan dan pendidikan seni.
Penutup
Hak cipta adalah instrumen hukum yang seharusnya menciptakan keseimbangan, bukan perlindungan sepihak. Revisi terhadap Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 113 UU Hak Cipta akan mempertegas:
-
Komersial → wajib izin & royalti
-
Non-komersial → cukup penghormatan moral tanpa royalti
Dengan demikian, hukum hadir secara proporsional, menyeimbangkan kepentingan pencipta, komunitas, dan masyarakat luas, sekaligus mendukung perkembangan industri musik dan budaya kreatif Indonesia secara berkelanjutan. Revisi ini tidak hanya memperkuat perlindungan hukum, tetapi juga menghidupkan ekosistem musik yang inklusif, edukatif, dan inovatif di ruang publik.

Oleh: Zulfikri Toguan






















